Buton - Pulau Buton. Nama yang selalu dihubungkan dengan pertambangan aspal alam. Tak banyak yang tahu, di pulau ini ada satu kesultanan, yang berperan mengisi sejarah Indonesia.
Di kota Bau-Bau inilah komplek Kesultanan Buton berada. Terletak di puncak bukit dan menghadap ke Selat Buton. Penduduk setempat menyebutnya keraton. Aura kemegahannya masih terasa nyata.
Dari arah laut, tiang bendera setinggi dua puluh satu meter, adalah tanda pertama yang akan terlihat oleh kapal yang datang. Tiang megah dari kayu jati ini didirikan tahun 1712 tepat dihalaman depan benteng. Seolah memberi isyarat, anda sedang memasuki wilayah kota raja. Di tiang ini juga pernah dikibarkan bendera kerajaan Belanda, Jepang sebelum akhirnya dikibarkan sang merah putih.Kerajaan Buton diperkirakan berdiri pada abad empat belas, dua abad kemudian berubah menjadi kesultanan. Kompleks keraton dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu tujuh ratus empat puluh meter. Benteng ini dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda.
Benteng berbentuk huruf 'dal' dalam aksara Arab, disusun dari batu kapur dan pasir. Benteng ini dilengkapi dua belas pintu masuk dan enam belas kubu pertahanan. Banyaknya meriam yang ditempatkan di tiap sisi benteng, menunjukkan masa Kesultanan Buton tidaklah mudah. Ada musuh, ada tamu asing, dan juga ada kerajaan tetangga, yang setiap saat datang sebagai lawan.
Disisi tebing yang sekaligus pembatas benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk. Letaknya tepat di bawah tanah keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian Arupalaka, Raja Bone, saat melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa. Berkat sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak berada di atas tanah Buton, maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.
Kesederhanaan ini seperti cermin dari iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda tugas, Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran.
Nuansa Islami amat lekat dengan Kesultanan Buton. Ddalam setiap pengangkatan sultan baru, ada sejumlah ritual yang telah menjadi tradisi. Ada sebuah batu berbentuk tonggak tempat menyimpan air, yang akan dipakai mandi sang calon sultan, sebelum diambil sumpahnya di Masjid Agung dalam kompleks keraton. Sehabis diambil sumpahnya, sang sultan baru dibawa ke batu pengangkatan. Diatas batu yang menyerupai alat kelamin perempuan ini, sang sultan di upacarai seolah-olah baru terlahir kembali. Bentuk batu ini mengingatkan pada lingga yoni, dalam konsep ajaran Hindu.
Pengaruh Islam masuk ke Buton secara resmi pada tahun 948 hijriah, dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Sulaiman. Syeikh ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu. Namun baru dua abad kemudian Masjid Agung keraton dibangun. Untuk mendirikan masjid ini konon menghabiskan tiga ratus tiga belas potongan kayu, yang sama jumlahnya dengan potongan tulang-tulang tubuh manusia.
Pengaruh demokrasi dalam sistem kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masjid Agung, yang berjumlah lima puluh enam orang. Namanya Sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan maupun rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji dan empat puluh orang anggotanya.
Sayangnya denyut nadi kehidupan dan budaya masyarakat Buton yang begitu elok, seperti terisolasi dari pengetahuan nasional. Ceritanya hanya bergaung lewat artikel-artikel sederhana dalam koran. Padahal, dengan sedikit polesan tangan terampil, Pulau Buton bisa menjadi surga wisata.(Idh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar